Peranan Bakteri Dalam
Fermentasi Makanan Khas Kalimantan Barat (Cincalok)
Ringkasan
Jenis makanan yang
paling khas, populer dan diminati warga Kalimantan Barat yaitu Cincalok. Makanan ini berupa udang
berukuran kecil yang proses fermentasinya terjadi dengan bantuan mikroba. Salah
satu mikroba yang berperan penting dalam proses fermentasi adalah dari kelompok
bakteri asam laktat. Makanan ini juga ditemui di daerah Malaka (Malaysia),
Philipina dan Jepang. Dari cerita turun temurun bahwa Cincalok merupakan makanan yang sangat lezat bagi penduduk sekitar.
Di kampung orang biasanya hanya makan nasi dan dicampur Cincalok serta ditambah lalapan sayur. Kenikmatannya diceritakan
dan diungkapkan dalam frase kalau sedang
makan cincalok, mertua lewat pun kita tak akan sadar. Hal tersebut karena
nikmatnya sering membuat ketagihan bagi setiap orang yang memakan jenis hidangan
ini. Udang yang digunakan untuk membuat Cincalok
adalah udang dari genus Acetes.
Proses awal produksi secara tradisional yaitu dengan pencucian udang dengan air
laut, lalu udang yang telah dicuci akan dicampur dengan garam, gula atau cabai
untuk dilakukan fermentasi. Hasil uji organoleptik untuk formula Cincalok menunjukkan responden paling
menyukai formula Cincalok dengan
waktu kematangan yang disukai panelis adalah hari ke-8 dan masa kadaluarsa
formula Cincalok adalah hari ke-30
berdasarkan tekstur dan tampilannya.
Pendahuluan
Beberapa kampung di
Kalimantan Barat mempunyai khasanah kuliner yang agak khas dan ekstrim. Dua
jenis kuliner tersebut diantaranya, yaitu cincalok dan budu. Keduanya punya
persamaan, yaitu dari bahan dasar ikan atau udang yang digarami. Cincalok
menggunakan udang kecil (halus), sedangkan budu menggunakan ikan teri segar.
Ikan atau udang itu cuma diberi garam dan disimpan dalam wadah tertutup.
Tujuannya agar cincalok dan budu lebih awet. Cincalok dan budu biasanya dimakan
begitu saja, artinya tidak perlu dimasak. Biasanya cukup diberi perasan air
jeruk dan ditambah cabe rawit. Tapi bisa juga ditumis dengan berbagai variasi.
Ciri khas keduanya adalah baunya yang menyengat. Seperti bau busuk, tapi justru
semakin berbau busuk menjadi salah satu sumber kenikmatan memakannya.
Apabila dibandingkan
dengan budu, makanan yang paling khas Kalimantan Barat maka Cincalok jenis
makanan yang paling populer. Makanan ini berupa udang berukuran kecil yang
proses fermentasinya terjadi dengan bantuan mikroba. Salah satu mikroba yang
berperan penting dalam proses fermentasi adalah dari kelompok bakteri asam
laktat (Achmad et al 2013). Makanan ini juga ditemui di daerah Malaka dan
termasuk bahan untuk masakan keluarga. Bahan makanan ini digunakan untuk
membuat sambal (Hutton, 2007)
Dari cerita secara
turun temurun, Cincalok merupakan makanan yang sangat lezat bagi penduduk
sekitar. Di kampung orang biasanya hanya makan nasi dan dicampur cincalok atau
budu serta ditambah lalapan sayur. Kenikmatannya diceritakan dan diungkapkan
dalam frase kalau sedang makan cincalok,
mertua lewat pun kita tak sadar. Hal tersebut karena nikmatnya sering
membuat ketagihan bagi setiap orang yang memakan jenis hidangan ini.
Berbagai versi Cincalok : Malaysia,
Jepang dan Philipina
Seperti halnya di Kalimantan
Barat bahwa Malaysia mengklaim Cincalok sebagai sejenis lauk pauk dalam
hidangan tradisional dengan nama Cencaluk.
Lauk pauk ini dibuat dari bahan udang halus yang lebih dikenal sebagai udang
geragau. Cencaluk menurut orang Malaysia mengandung protein yang tinggi. Secara
umum udang geragau di Malaysia sulit untuk mendapatkannya. Di Malaysia udang
ini hanya ada pada musim tertentu di Pantai Klebang, Limbongan, Tanjung Kling
dan beberapa kawasan pesisir pantai yang lain.
Di negara Malaysia
makanan ini bahkan tersedia di berbagai supermarket dalam kemasan botol modern
dan lengkap dengan labelnya. Lebih mengejutkan lagi karena ternyata orang-orang
Philipina juga memiliki makanan serupa sejenis Cincalok. Bahkan di Jepang pun
banyak ditemukan makanan jenis tersebut. Orang Jepang menyebut udang halus
dengan sakura ebi. Mereka punya
shiokara, yaitu makanan berupa ikan atau udang yang diawetkan dengan
penggaraman. Sakura ebi shiokara
adalah cincalok versi Jepang. Selain dari udang halus, orang Jepang juga
membuat shiokara dari cumi. Daging cumi berikut isi perutnya dipotong-potong,
digarami, lalu didiamkan beberapa hari. Hasilnya bahwa shiokara dari cumi mirip
dengan cincalok maupun budu.
Bakteri Berperan Dalam Fermentasi
Cincalok
Bakteri yang berperan
dalam proses fermentasi cincalok adalah kelompok bakteri asam laktat. Kelompok
bakteri ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa dengan aroma dan rasa
khas, meningkatkan nilai cerna makanan, dan menghasilkan senyawa antimikroba
yang dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme seperti asam laktat,
hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin. Bakteri yang berhasil
diisolasi adalah Lactobacillus sp.
dan Streptococcus sp (Achmad et al
2013). Penelitian lain melaporkan bahwa ditemukan juga bakteri dari genus Staphylococcus dengan bakteri langka
yaitu Staphylococcus piscifermentans
(Hajar dan Hamid, 2013). Bakteri yang dominan ditemukan pada Cincalok dari
Thailand adalah Lactobacillus sp. dan
Lactococcus sp. Berdasarkan sekuens
16s, ditemukan bakteri Staphylococcus
piscifermentans dengan strain langka yang sebelumnya hanya ditemukan pada
isolat dari ikan. Bakteri penghasil γ-butyric acid (GABA) yaitu Leuconostoc NC5
juga ditemukan pada cincaluk. Semua bakteri ini akan memberi nilai tambah yang
positif bagi pengawetan dan nilai gizi dari cincalok yang biasa digunakan
sebagai saus pada hidangan di negara-negara Asia Tenggara. Hidangan ini
bermanfaat sebagai pengawet alami dan kultur starter makanan fermentasi (Achmad
et al 2013).
Gambaran Proses Produksi Cincalok
Secara Umum
Udang yang digunakan
adalah udang dari genus Acetes
(Alabastro et al, 1985). Proses awal produksi secara tradisional adalah
pencucian udang dengan air laut, lalu udang yang telah dicuci akan dicampur
dengan nasi dan garam. Campuran disimpan pada wadah tembikar dan ditutup dengan
kain atau penutup tembikar. Selanjutnya campuran didiamkan selama 20 hingga 30
hari agar terfermentasi sempurna. Beberapa produsen menambahkan asam benzoat
dan pewarna merah pada akhir fermentasi, namun ada juga yang menambahkan saus
tomat (Hui dan Evranus 2012). Beberapa hasil dari proses pembuatan cincalok
dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar
1. Cincalok fermentasi, Sambal Cincalok dan Cincalok kemasan botol
Peranan Garam, Gula dan Cabai Pada
Cincalok
Garam yang ditambahkan
pada makanan yang difermentasi bertujuan untuk menghambat aktivitas enzim
proteolitik dan untuk menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Aktivitas
antibakteri dari garam disebabkan oleh kemampuannya untuk menurunkan
ketersediaan air bebas, dan menurunkan tekanan osmosis, sehingga keseimbangan
osmosis dalam sel bakteri terganggu. Oleh karena itu, jumlah garam yang
ditambahkan pada makanan fermentasi dapat mempengaruhi populasi mikroorganisme
(Destrosier, 1988).
Kadar garam 2-2,5% pada
makanan fermentasi, menyebabkan bakteri proteolitik dan pembusuk masih dapat
hidup. Peningkatan kadar garam 3-10% dalam kondisi anaerobik, akan merangsang
pertumbuhan Bakteri Asam Laktat (BAL). Penambahan garam dengan konsentrasi 7% akan
mampu menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Mackie et al 1971).
Penambahan gula yang
merupakan salah satu sumber karbon yang baik, bertujuan untuk membuat rasa manis
produk dan merangsang pertumbuhan BAL (Astawan, 2004). Penambahan bawang putih
dan cabai pada formula bertujuan untuk meningkatkan citarasa terhadap formula
cincalok. Bawang putih dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk pada
daging karena memiliki senyawa antimikroba yang disebut allicin. Allicin adalah
komponen utama yang berperan dalam memberi aroma bawang putih dan salah satu
zat aktif yang dapat membunuh kuman-kuman penyakit atau bersifat antibakteri
(Ross et al 2001). Allicin juga mampu
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme yang menguntungkan di dalam saluran
pencernaan, dengan cara menekan pertumbuhan bakteri merugikan, sehingga
pemanfaatan makanan untuk pertumbuhan dapat maksimum (Sholikhah, 2009).
Penambahan serbuk cabai
yang bervariasi bertujuan untuk mendapatkan formula yang disukai berbagai
selera konsumen. Cabai juga berperan dalam mempertahankan mutu produk pangan
akibat kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan
aroma serta kerusakan fisik lain pada produk pangan (Trubus, 2003). Senyawa
aktif kimia yang terdapat pada cabai adalah capsaicin (minyak atsiri), yang
tersimpan dalam daging buah, biji atau dalam tempat melekatnya biji. Capsaicin berperan
sebagai bakterisida dan fungisida. Capsaicin termasuk dalam golongan kapsasinoid,
yaitu zat pedas yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan, bersifat larut dalam lemak (non
polar) dan mudah teroksidasi selama penyimpanan.
Identifikasi Bakteri Pada Cincalok
Beberapa penelitian bertujuan
untuk menemukan berbagai spesies bakteri dari cincalok. Salah satunya yang
dilakukan oleh Achmad et al (2013) yaitu membuat eksperimen cairan dari sampel
sebanyak 25 mL dicampur dengan bufer air pepton sebanyak 225 mL. Beberapa
pengenceran dibuat dengan 0,1% air pepton. Sampel disebar pada agar MRS (De
Man, Rogosa dan Sharpe) dan diinkubasi secara anaerob selama 48 jam pada suhu
37oC. Koloni sel tunggal diambil dengan tusuk gigi steril dan diuji
lebih lanjut.
Uji morfologi,
fisiologi, dan karakteristik biokimia dari isolat ditentukan dengan prosedur
standar yaitu uji pewarnaan Gram, uji produksi katalase dan uji produksi gas
dilakukan. Pada uji penggunaan laktosa, koloni yang dipilih diulas pada NA
(Nutrient Agar) dengan penambahan laktosa dan 0.005 g/L dari ungu bromokresol
sebagai indikator pH. Cawan petri diinkubasi pada suhu 30oC selama
24 jam. Isolat yang menggunakan laktosa dan memproduksi asam akan terlihat dari
perubahan warna pada media yang berwarna ungu menjadi warna kuning. Uji aktivitas
katalase dilakukan dengan penambahan setetes larutan hidrogen peroksida dengan
konsentrasi 30% ke ulasan kultur. Reaksi positif didapatkan dengan gelembung
udara yang muncul dari koloni yang menandakan produksi gas oksigen. Isolat
bakteri asam laktat ditumbuhkan pada medium MRS broth dan diinkubasi secara
anaerob selama 48 jam pada suhu 30oC. Sel yang terdapat pada larutan
kaldu dipipet ke filter kertas cakram, lalu dikeringkan selama 10 menit. Kertas
cakram diletakkan pada permukaan agar yang sebelumnya telah diulas sebanyak 500
μL bakteri indikator.
Uji anti bakteri
dilakukan dengan 4 (empat) bakteri indikator yaitu E. coli ATCC 35215, Staphylococcus
aureus, Bacillus subtilis, dan Salmonella typhimurium. Uji ini dengan dilakukan
pengulangan sebanyak 3 (tiga) kali. Setelah itu cakram diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 37oC dan zona inhibisi yang mengelilingi cakram diamati
(Achmad et al 2013).
Analisis 16s dilakukan
untuk mengetahui spesies bakteri yang berada pada cincalok. Dalam amplifikasi
16s digunakan primer forward pA dan primer reverse pE. Produk hasil amplifikasi
dipurifikasi dengan spin column. Amplifikasi dilakukan dengan denaturasi awal
pada suhu 94oC selama 4 menit dan dengan 29 siklus denaturasi pada
suhu 94oC selama 2 menit. Penempelan primer pada suhu 55oC
selama 1 menit, dan pemanjangan (elongasi) pada suhu 72oC. Fragmen
hasil amplifikasi dikloning dengan menggunakan blunt end dari produk PCR ke
vektor kloning pJET 1.2 dan ditransformasikan ke E. coli dengan sel kompeten.
Kemudian DNA dari
isolat dianalisis dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa dengan kadar
1.0 % (b/v) dalam 1x bufer TAE (Tris-Cl Asetat EDTA) pada tegangan listrik 90 V
selama waktu 65 menit. Lalu gel divisualisasikan dengan sistem dokumentasi gel.
Untuk transforman yang berhasil, plasmid hasil rekombinasi diekstraksi kembali.
Kemudian plasmid yang telah diekstraksi diverifikasi lebih lanjut dengan PCR
menggunakan primer vektor yang dituju. Produk PCR hasil purifikasi juga
langsung disekuensing dengan primer 16s rRNA. Sekuensing gen dianalisis dengan
program BLAST di bank data NCBI GeneBank (Achmad et al 2013).
Penelitian
Mengenai Pembuatan Cincalok Dengen Fermentasi Garam Tinggi
Ikan teri nasi
merupakan salah satu dari sekian banyak biota kelautan yang menyebar hampir di
seluruh perairan Indonesia. Kecil dan unik, mungkin pantas disandang ikan teri
ini meski tubuhnya berukuran kecil namun memiliki rasa yang nikmat dan angka
nutrisi yang sangat baik, tidak mengherankan jika akhirnya ikan teri banyak
penggemarnya. Namun seperti ikan pada umumnya teri nasi sangat mudah rusak dan
membusuk, itu sebabnya perlu cara untuk mempertahankan agar tetap awet tanpa
harus menghilangkan kenikmatannya yaitu dengan cara diasinkan.
Produk sejenis yang
bentuk dan prosesnya hampir menyerupai produk dari teri nasi ini yaitu Calo
atau Cincalok yang berbahan dasar udang rebon (Acetes sp), namun produk ini hanya populer di Kalimantan Barat dan
negara tetangga Malaysia. Ciri khas dari produk ini adalah rasa yang sangat
asin karena merupakan produk fermentasi garam tinggi dengan kadar garam antara
20-30 %.
Penelitian proses
pembuatan Cincalok teri nasi (Stolephorus
commersonii lacapede) dengan metode fermentasi garam tinggi berupa kajian
konsentrasi garam dan konsentrasi gula dilakukan oleh Yanuar pada tahun 2013.
Penelitian yang dilakukan Yanuar bertujuan untuk mengetahui konsentrasi garam
dan konsentrasi gula yang optimum pada proses fermentasi cincalok teri nasi,
serta untuk mengetahui pengaruh konsentrasi garam dan konsentrasi gula terhadap
sifat fisik, kimia dan organoleptik cincalok teri nasi. Hipotesis yang diajukan
dalam penelitian tersebut adalah Diduga terdapat pengaruh antara kadar garam
dan kadar gula terhadap perubahan sifat fisik, kimia dan organoleptik cincalok
teri nasi.
Rancangan percobaan
yang digunakan dalam kegiatan penelitian tersebut adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor yaitu Konsentrasi Garam (K) dengan 2
level dan Konsentrasi Gula (L) dengan 3 level. Konsentrasi Garam 20% dan 25%,
sedangkan Konsentrasi Gula 0,5; 1 dan 1,5%. Dari kedua faktor tersebut diperoleh
6 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali
sehingga diperoleh 18 satuan percobaan.
Analisa yang dilakukan
yaitu Analisa Teri Nasi Asin atau Cincalok mulai dari bahan baku hingga produk
jadi antara lain : kadar air, kadar abu, kadar garam, kadar protein, kadar N
amino bebas, Total Volatile Base Nitrogen (TVBN), Trymethylamine (TMA), total
asam; uji pH, uji Aw, Total Bakteri (TPC), dan uji organoleptik rasa dan aroma.
Dari hasil pemilihan perlakuan terbaik terhadap sifat fisik, kimia,
mikrobiologi adalah pada perlakuan K2L1 sedangkan organoleptik adalah pada
perlakuan K1L3. Parameter kadar air 50,67%; kadar abu 10,49%, kadar protein
28,65%, kadar N Amino bebas 3,41 %, Total Asam 1,64 %; TVBN 37,77 mg/100g; TMA
36,47 mg/100g; kadar garam 10.63 %; Aw 0.51; pH 5,47; total bakteri 9,0 x102
(log 2,96). Tingkat kesukaan panelis cincalok teri nasi dengan parameter rasa
berkisar antara 100 (5.55) menyatakan suka – 42.5(2.6) menyatakan agak tidak
suka; aroma berkisar antara 103 (5.85) menyatakan suka – 37.5 (2.5) menyatakan tidak
suka.
Penelitian
Mengenai Uji Organoleptik Cincalok
Penelitian mengenai uji
organoleptik Cincalok dengan penambahan serbuk bawang putih (Allium sativum) dan serbuk cabe (Capsium Annuum) pernah dilakukan oleh
Dyastuti et al pada tahun 2013 di Pontianak Kalimantan Barat.
Formulasi makanan
merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
makanan, misalnya dengan menambahkan bumbu masak. Beberapa contoh bumbu masak
alami yang sering digunakan misalnya bawang merah, bawang putih, cabai merah,
jahe, kunyit dan lengkuas. Penambahan bumbu masak selain dapat menambah cita
rasa pada makanan fermentasi, juga dapat bersifat sebagai antioksidan ataupun
antimikroba yang berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan
pembusuk (Fardiaz, 1988; Rahayu et al., 1995).
Salah satu makanan
fermentasi khas Kalimantan Barat adalah cincalok. Cincalok dibuat dari udang
rebon, gula dan garam dengan perbandingan tertentu serta disimpan selama waktu
tertentu. Hasil uji organoleptik tentang formulasi cincalok dengan penambahan
serbuk bawang putih 1% dan serbuk cabai 1% menunjukkan bahwa responden lebih
menyukai jenis Cincalok dengan penambahan serbuk bawang putih (Syahmuardiandi,
2011).
Pengembangan formula
cincalok dengan penambahan serbuk bawang putih dan serbuk cabai dilakukan dalam
upaya peningkatan kualitas cincalok hasil formulasi. Kajian yang dilakukan dilakukan
Dyastuti et al pada tahun 2013 untuk
mendapatkan komposisi serbuk bawang putih dan serbuk cabai terbaik dalam
pembuatan cincalok. Oleh karena itu, pada penelitian tersebut dilakukan
karakterisasi cincalok hasil formulasi yang dibuat dengan penambahan serbuk
bawang putih dan serbuk cabai dengan komposisi tertentu dan variasi waktu
fermentasi. Parameter yang dianalisis adalah uji organoleptik. Uji organoleptik
dilakukan dengan cara memberikan kuisioner kepada masyarakat yang terbiasa
mengkonsumsi cincalok mengenai rasa, penampilan, tekstur dan aroma cincalok
hasil formulasi.
Gambar 2.
Hasil Analisis
Organoleptik Rasa, Penampilan, Tekstur dan Aroma Formula Cincalok
(Sumber :
Dyastuti et al 2013)
Hasil uji organoleptik
untuk 4 (empat) formula cincalok terlihat pada Gambar 2, menunjukkan responden
paling menyukai formula cincalok D. Waktu kematangan dan penampilan yang
disukai panelis adalah hari ke-8. Berdasarkan hasil AHP, tekstur formula D juga
lebih baik berdasarkan rasa, penampilan dan tekstur dibanding formula lainnya.
Masa kadaluarsa dari formula cincalok adalah hari ke-30 berdasarkan tekstur dan
penampilan.
Daftar Pustaka
Achmad
DI, Nofiani R, Ardiningsih P. 2013. Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Lactobacillus sp. RED1 dari Cincalok
Formulasi. FMIPA Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Alabastro
EF, Acevedo TP, Chavez LL. 1985. Proceedings: Food Conference 1985, February
18-23, 1985, Philippine International Convention Center. Manila : Philippine.
Dyastuti
E.A, Risa N, Puji A. 2013. Uji Organoleptik Cincalok dengan penambahan serbuk
bawang putih (Allium sativum) dan
serbuk cabe (Capsium Annuum). Program
Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Fardiaz,
S. 1992, Analisis Mikrobiologi Pangan, Raja Grafindo Persada. Jakarta
Hajar
S, Hamid THTA. 2013. Isolation of lactic acid bacteria strain Staphylococcus
piscifermentans from Malaysian traditional fermented shrimp cincaluk. Int Food
Res J 20 (1): 125-129
Hui
YH, Evranus EO. 2012. Handbook of Animal-Based Fermented Food and Beverage
Technology, Second Edition. Boca Raton : Taylor & Francis
Hutton
W. 2007. The Food of Love: Four Centuries of East-West Cuisine. Singapore :
Marshall Cavendish Cuisine.
Rahayu,
E., Sudarmadji, S., Wibowo, T.F., dan Djaafar, 1995, Isolasi Bakteri Asam
Laktat dan Karakterisasi Agensia yang Berpotensi sebagai Biosafety Makanan
Indonesia, Laporan Penelitian
Syahmurdiandi,
M., 2011, Studi Formulasi Cincalok Makanan Tradisional Kalimantan Barat,
Universitas Tanjungpura, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Pontianak (Skripsi)
Yanuar,
N. 2013. Proses Pembuatan Cincalok Teri Nasi (Stolephorus commersonii lacapede)
Dengan Metode Fermentasi Garam Tinggi (Kajian Konsentrasi Garam dan Konsentrasi
Gula). Skripsi.