Cari Blog Ini
Minggu, 08 Maret 2015
FOREST GARDEN MODEL FOR AGROFORESTRY LAND DEVELOPMENT (CASES STUDY IN RANCAKALONG TRADITIONAL GARDEN, SUMEDANG DISTRICT, WEST JAVA)
FOREST
GARDEN MODEL FOR AGROFORESTRY LAND DEVELOPMENT (CASES STUDY IN RANCAKALONG
TRADITIONAL GARDEN, SUMEDANG DISTRICT, WEST JAVA)
Nanang
Sasmita
Deforestation in West Java were increase
every years. One of the causes factor (the increases of bold forest and
critical land) because the forest which cut were very difficult to be
reforestation especially in hill area. That’s why there is needs an effort to
reforestation and rehabilitates the forest by agro forestry. This research is
to made an agro forestry model traditional land use by analyzes the condition
of social, economy and ecology Rancakalong garden. Data collection were do by
interview activity, field observation and market survey (2004-2005). Vegetation
analyzes were do to describes vertical and horizontal structure and also garden
composition. Economic potential analyzed based on garden yield and market price
where than it compared with the pines forest management economic potential.
Regression analyzes were do to see the relation of socio culture characteristic
with the garden yield income. SWOT analyzes to the traditional garden were do as
a basic for land use model in agro forestry ways. Vegetation results shows that
there is 132 plant species from 52 family, which consist of 102 annual plant
species, 18 perennial plant species and 20 herb plant species. Rancakalong garden
shows complex vertical structure because it is arranges from 3 stratum (under,
middle and upper) which fill by annual plant and perennial plant. Most of the
plant which exist were use by the society. From 132 plant species which find,
107 species use as a medicines, 99 species as a food source, 39 species as a
building wood source and 5 species as a dye materials, and 4 species as a
source product of resin. Society total income is about Rp 498.050/month. From that
number, Rp. 342.700 were gets from garden yields, it makes garden yields
contribution to the total income is about 68,80%. Economic potential results
shows that garden economic value each hectare (Rp 9.038.385/ year) higher than pines
forest economic value (Rp 8.280.000/year). Regression result shows that income
level from Rancakalong society level is really influenced by the age of the
head of the family, fruits yields, palawija yields, bamboo yields and woods yields.
Rancakalong traditional garden based on it structure, function and its uses can
be made as a land management model in agroforestry. Agro forestry model which
suggest is Agroforestri
Tradisional Terpadu Multiguna (AT2M) which made by combines
many activity and important uses of traditional garden for society daily life’s.
The AT2M model effort is agrosylvo
pastoralgarden, that is land management system to
produces agriculture yield, forest yield, garden yields in simultaneously and
also planting plant species for animal food supply. This model can be
applicated to build society forest, production forest and village forest.
UJI PERKECAMBAHAN MAKARANGA (Macaranga gigantea Mull) DENGAN PERENDAMAN DAN TINGKAT CAHAYA
Uji Perkecambahan Makaranga (Macaranga gigantea Mull) dengan Perendaman dan Tingkat
Cahaya
Nanang Sasmita dan Sugianur
Macaranga (Macaranga gigantea) is pioneer species in the
begining of natural succession to climax forest, so macaranga is very suitable
for reforestation and reclamation program. The early information about
germination is very important as a first step in generative seed production.
According to problem above, seed combination treatment is used with different
hot watter treatment and differet light level. The results showed that the
highest germination level occured on 1 minute hot treatment with 90% dark
concave cover and average temperature on 28,48°. The highest germination speed
is on 1 minutes hot water treatment and bright concave for 11.15 days.
Meanwhile other treatment, which is 13
days, is not significant. The germination value is 9,72% per day on 1 minute
hot watter treatment and dark concave covered, and lowest is 0,09% on 3 days
hot watter treatment in bright concave condition.
UJI SPESIES TUMBUHAN ASLI KALIMANTAN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG BATU BARA DI PT KALTIM PRIMA COAL
UJI SPESIES TUMBUHAN ASLI KALIMANTAN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG BATU BARA DI PT KALTIM PRIMA COAL
Nanang Sasmita, Suharjo dan Wahyu Wardhana
This research aims to
select a proper Borneo native trees species to plant in post coal mined areas
through local species test with Randomized Completely Block Design (RCBD). The
experiment was conducted in PT Kaltim Prima Coal. Research plots used shaped
line. The analysis results of 10 plant species studied showed theres three
types of species with optimal growth, such as Alstonia scholaris (life percentage
97.3%, 117.40 cm height, 2.37 cm stem diameter, canopy diameter of 88.70 cm),
Homalanthus populneus (life percentage 85.3%, 1.57 cm
height, 2.53 cm stem diameter, canopy diameter of 99.80 cm) and Croton
argyratus (life percentage 88%, 107.70 cm height, 1.63 cm stem diameter and
canopy diameter of 53.40 cm).
Keywords : Species, Reclamation, Plant growth
PENGARUH LAMA PERENDAMAN DAN KONSENTRASI ZAT PENGATUR TUMBUH ATONIK TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI ULIN (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn)
PENGARUH LAMA PERENDAMAN DAN KONSENTRASI ZAT PENGATUR
TUMBUH ATONIK TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI ULIN (Eusideroxylon zwageri Teijsm Binn)
Nanang Sasmita dan Sutarmono
This
research aims to determine the effect of seed soaking time of Eusideroxylon
zwageri with a proper atonik concentration to accelerate germination. The
experiment was conducted in Gang Babussalam South Sangatta, East Kutai. The
results showed that the best treatment on the Eusideroxylon zwageri germination
is a 24 hours soaking with three milliliters atonik concentration. Based on the
LSD 5% level that the soaking time and atonik concentration showed highly
significant effect, while the second shows the interaction effect is not real.
PERAN PENDIDIKAN KEHUTANAN DI INDONESIA MENGHADAPI ASEAN SINGLE COMMUNNITY 2015
PERAN PENDIDIKAN
KEHUTANAN DI INDONESIA MENGHADAPI ASEAN SINGLE COMMUNNITY 2015
Pendahuluan
Pendidikan kehutanan di Indonesia
memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan formal kehutanan dimulai pada
tahun 1963 di universitas negeri yaitu IPB dan UGM. Pada tahun-tahun berikutnya
pendidikan formal kehutanan untuk swasta diawali berdirinya Akademi Ilmu
Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Pendidikan tersebut secara khusus dimaksudkan
untuk mendidik Rimbawan di seluruh Indonesia. Hal itu kemudian berkembang luas
pada era tahun 1990an ketika Jurusan Kehutanan mulai berkembang di
daerah-daerah. Ekspansi yang cepat dalam pendidikan kehutanan pada awal tahun
1980. Kemudian menjadi sangat kontras dengan menurunnya pendidikan kehutanan
pada akhir tahun 2010. Mahasiswa peminat Jurusan Kehutanan menurun drastis dan
penurunan skill yang dibutuhkan seorang profesi rimbawan telah menyebabkan
ketidakpastian dikalangan pendidik kehutanan. Selama 10 tahun terakhir,
pendidikan kehutanan di Indonesia terus menurun di setiap tahunnya dan terjadi
perubahan-perubahan yang radikal. Ini mencerminkan adanya perubahan dramatis
yang telah terjadi tentang peran rimbawan yang profesional dan latar belakang
pendidikannya. Fokus pada pendidikan yang profesional mengarah pada lulusan
kehutanan di universitas-universitas di Indonesia. Meskipun terdapat banyak
perbedaan antara program diploma dan lulusan program sarjana. Perbedaan mungkin
pada pekerjaan bidang kehutanan di Indonesia antara program yang mengarah ke
diploma (dianggap sebagai pendidikan teknis) dan program yang mengarah pada
lulusan sarjana (dianggap sebagai pendidikan profesional).
Antara Tenaga Teknis
dan Pendidikan Profesional
Hubungan antara pendidikan teknis
dan pendidikan profesional sangat kompleks dan menjadi semakin sulit untuk
dibedakan, terutama meningkatnya program sarjana untuk menjembatani pelatihan
atau pengetahuan tambahan bagi seorang rimbawan yang sudah ada. Intinya
pelatihan tidak dalam hal-hal teknis. Perdebatan ini menjadi sangat rumit
karena perbedaan yang semakin jelas antara tenaga kehutanan profesional dan
tenaga teknis yang terlatih. Misalnya para alumni rimbawan profesional bekerja
di Departemen dan Dinas Kehutanan (Pemerintahan) sedangkan tenaga teknis
kehutanan untuk memenuhi pekerjaan perusahaan kehutanan di luar Jawa.
Perbedaan artificial antara program diploma dan program
sarjana dianggap gagal untuk memperhitungkan bahwa banyak perguruan tinggi
memberikan kredit kepada mahasiswa dengan ijazah yang dikeluarkannya. Sehingga
program diploma memungkinkan untuk masuk (melanjutkan) ke dalam program sarjana
seperti yang terjadi tahun-tahun terakhir. Dalam beberapa kasus program
tersebut telah berhasil, tetapi dalam beberapa kasus program yang dirancang
memungkinkan mahasiswa diploma mengupgrade pengetahuan secara keseluruhnya. Di
sisi lain, pekerjaan pertama rimbawan dari posisi tenaga teknis terlatih dari
keterampilan yang telah dipelajari di universitas mungkin akan cepat hilang.
Gaji yang relatif rendah dan sering dalam kondisi kerja yang sulit berhubungan
dengan posisi dapat bertindak sebagai disinsentif bagi profesinya. Banyak
rimbawan terlatih menganggap bahwa terlalu banyak bahan materi yang diajarkan,
sedangkan materi (khususnya bidang keterampilan) yang benar-benar dibutuhkan
tidak diajarkan dengan cukup.
Pendidikan teknis kehutanan
menghadapi hal yang sama dengan masalah pendidikan profesional yang ditandai
penurunan mahasiswa peminat kehutanan. Masalah ini disebabkan karena sumber
daya hutan yang makin menurun dan terjadi penutupan beberapa pendidikan
kehutanan. Sebagai contoh yang dikemukakan Temu et al (2003) menyatakan bahwa
pendidikan teknis kehutanan di Afrika hampir menghilang sejak tahun 1999. Hal
ini telah menciptakan masalah bagi perekrutan untuk teknisi kehutanan yang
terlatih, khususnya di Afrika dimana masalah tersebut tampaknya menjadi akut.
Jumlah perguruan tinggi yang menawarkan pelatihan kehutanan telah menurun
selama beberapa tahun dan kejadian ini lebih lanjut mengakibatkan menurunnya
tingkat keterampilan. Pada saat yang sama, ada pengakuan yang berkembang antara
asosiasi kehutanan profesional yang ada dengan kebutuhanuntuk melanjutkan
pendidikan. Hal ini tidak mengherankan mengingat laju perubahan dalam profesi
kehutanan. Asosiasi profesional perlu memastikan bahwa keterampilan anggotanya
harus terus diperbaharui, kapasitas pendidikan dan pelatihan di universitas dan
akademi merupakan cara yang logis untuk mencapai hal tersebut.
Penurunan Minat
Kehutanan Secara Global
Sebuah tren terlihat di beberapa
negara Eropa dan Amerika yaitu menurunnya angka individu yang ingin kuliah
untuk gelar kehutanan. Tren ini dengan perkiraan penurunan 30% secara
keseluruhan (Temu et al, 2003). Masalah ini diakui sebagai krisis global yang
dihadapi pendidikan profesional kehutanan (Miller, 2004). Sementara banyak
negara lainnya terutama negara-negara yang memiliki pulau kecil tidak memiliki
kapasitas pendidikan kehutanan, sedangkan yang lain telah menutup lembaganya
(Oxford Forestry Institute sudah dibekukan) dan penutupan diantisipasi dalam
waktu dekat. Inggris telah melihat penurunan dramatis pelaksanaan untuk program
kehutanan, dari sekitar 325 program tahun 1996 menjadi 156 program di tahun
2003 (Burley et al, 2004). Di Kanada juga menunjukkan adanya hal yang sama.
Jumlah mahasiswa yang terdaftar di program kehutanan menurun dari 1.881 tahun
1996 menjadi 1.463 pada tahun 2004 (Innes, 2010). Jika mahasiswa yang mengambil
program konservasi sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi kayu
dihilangkan, maka angka penurunan akan jauh lebih besar. Pada waktu yang sama
masih ada permintaan untuk rimbawan yang terlatih dan di beberapa negara mulai melaporkan
adanya kekurangan lulusan kualifikasi kehutanan.
Nama Kehutanan,
Apakah Suatu Nama Yang Menarik?
Alasan makin marak menurunya
pendidikan kehutanan sangat kompleks. Hal tersebut terjadi ketika permintaan
pendidikan berbasis universitas semakin meningkat, meskipun peminat di banyak
ilmu telah menurun. Ada dua kelompok alasan mengapa terjadi penurunan. Pertama
karena calon mahasiswa tidak mengerti atau tidak memahami tentang kehutanan.
Kehutanan tidak umum diajarkan pada tingkat sekolah menengah, bahkan banyak
calon mahasiswa tidak menyadari ada disiplin ilmu yang disebut kehutanan.
Alasan kedua didasarkan pada premis bahwa calon mahasiswa menyadari adanya
disiplin ilmu kehutanan, tetapi untuk membuat keputusan secara sadar untuk
tidak memasukkinya. Berbagai alasan telah dikemukakan untuk hal ini. Sebagai
contoh menurut Temu et al (2003) menganggap bahwa hal ini dikaitkan dengan
kegagalan pendidikan kehutanan untuk menanggapi perubahan sosial dengan cepat,
perubahan ekonomi dan politik dalam praktek kehutanan. Ditambahkan bahwa
karakter pendidikan kehutanan sangat tidak berorientasi pasar (Temu et al,
2003). Selain itu menurut Luckert (2006) menyatakan penurunan berhubungan
dengan berkurangnya kesempatan kerja untuk lulusan kehutanan yang profesional.
Weston dan Whittaker (2009) mengusulkan penjelasan yang lebih halus, dengan
alasan bahwa calon mahasiswa mengasosiasikan disiplin kehutanan dengan kegiatan
yang dilakukan oleh teknisi dari lulusan universitas. Namun penjelasan lain
adalah bahwa istilah kehutanan menjadi ireversibel terkait dengan perusakan
hutan dan bukan berkaitan dengan pemeliharaannya.
Apakah disiplin ilmu kehutanan
layak untuk pendidikan universitas, atau itu sebatas subjek teknis yang bukan
untuk universitas tapi cukup dengan diploma? Kehutanan sebagai disiplin
akademik yang luas meliputi berbagai macam, berkaitan dengan alam dan ilmu
sosial. Namun di beberapa universitas, kehutanan tidak pernah dianggap cukup
penting bagi fakultas. Program kehutanan dianggap relatif kecil dibandingkan dengan
fakultas gabungan lainnya pada universitas. Ini sebagian mencerminkan penurunan
peminat dalam program kehutanan, dan sejumlah pendekatan yang berbeda telah
diadopsi dalam upaya menopang penerimaan mahasiswa. Pada beberapa universitas
ada yang mengubah nama departemen kehutanan, karena keyakinannya bahwa istilah
kehutanan dan rimbawan terlalu banyak berkonotasi negatif. Hal lain telah
menurunkan standar dan kebijakan yang berulang kali terbukti keliru.
Kehutanan Mengubah
Nama Atau Sekedar Perluasan Disiplin Ilmu
Tidak ada jawaban yang jelas
apakah disiplin kehutanan harus tetap khas. Beberapa masih ada manfaat secara
keseluruhan, terutama kepentingannya dalam isu-isu lingkungan dan asal-usul
produk dari hutan. Produk kayu semakin terkait dengan asal-usulnya melalui
persyaratan sertifikasi. Banyak orang ingin mengetahui apakah produk yang
dibeli berasal dari sumberdaya hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Pihak
yang bekerja di bidang kehutanan umumnya memiliki kepentingan bersama, yaitu
hutan dan produk-produknya dapat bersinergi yang dapat dikembangkan melalui
profesional dari latar belakang akademik yang berbeda dan bekerja sama dalam
masalah-masalah substansial secara umum. Pihak yang mendukung pembubaran
kehutanan sebagai disiplin pendidikan lebih berminat pada kehutanan yang
bersifat tradisional, manfaat dari kehutanan bahwa mahasiswa menerima pelatihan
dari berbagai fakultas yang berbeda.
Ada perubahan sifat dalam
pendidikan kehutanan. Menurut laporan yang disampaikan Temu et al (2003)
mengidentifikasi sejumlah kasus, dimana pendidikan kehutanan perlu adanya
perubahan. Beberapa rekomendasi, yaitu:
> Restrukturisasi pendidikan kehutanan untuk
menangani masalah-masalah lintas sektoral dan masalah lainnya seperti ketahanan
pangan dan kemiskinan
> Memasukan pengelolaan pada lahan semak-belukar
dan areal hutan rendah ke dalam pendidikan kehutanan
> Memulai mekanisme global untuk merangsang
investasi dalam pendidikan kehutanan, terutama pelatihan pendidik, pengkajian
kurikulum dan pengembangan pembelajaran yang relevan
> Menyusun strategi pendidikan kehutanan yang
relevan dengan kaum pemuda dan perempuan secara terintegrasi dengan program
yang baik yang mencerminkan kehutanan yang lebih luas
> Penguatan kapasitas sumberdaya manusia dalam
pengelolaan pohon di luar kawasan hutan
> Meningkatkan kolaborasi antara institusi yang
lebih tinggi
Secara tradisional dipandang
sebagai suatu disiplin yang kuat dalam ilmu alam. Kunci kontribusi program
dibuat dalam bidang biologi, kimia, fisika dan ilmu-ilmu alam lainnya. Hal ini
karena kehutanan dianggap hanya sekitar mengelola hutan. Namun dengan semakin
dikenalnya kehutanan yang sebenarnya untuk menanggapi tentang kebutuhan
stakeholder kehutanan (Luckert 2006), berbagai kontribusi dari ilmu sosial
harus dimasukkan. Akibatnya unit pengajaran yang berhubungan dengan pengelolaan
hutan masih tetap mengandung silviculturalists, ekonom neoklasik dan
biometrician, tetapi pembelajaran kehutanan akan ditambah dengan geografer,
antropolog, psikolog, perencana (planner), manajer bisnis, hydrologists dan
insinyur (engineer). Perluasan disiplin kehutanan ini bisa juga menciptakan
masalah. Banyak perguruan tinggi yang sekarang menawarkan gelar kehutanan dari
campuran program yang disediakan oleh berbagai departemen dan fakultas di
universitas. Meskipun ada pengecualian pada program tersebut, ada benturan
dengan beberapa keterampilan dasar yang diperlukan rimbawan yang kurang
diajarkan (Temu et al, 2003).
Mengulas Peran
Pendidikan Kehutanan (Studi Kasus di Fakultas Kehutanan IPB)
Fakultas Kehutanan IPB Sebagai
lembaga pendidikan tinggi, tidak hanya mengembangkan proses pendidikan di
lingkup unit IPB saja, tetapi turut pula berperan dalam pengembangan dan
pembinaan pendidikan di perguruan tinggi lainnya, khususnya di bidang pendidikan
kehutanan, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Program pembinaan berupa
program afiliasi Jurusan Kehutanan pada universitas-universitas negeri, yaitu
antara lain Universitas Cenderawasih, Universitas Tanjung Pura, Universitas
Lambung Mangkurat dan Universitas Pattimura. Selain itu berpartisipasi dalam
pengaktifan kembali Fakultas Pertanian, termasuk Jurusan Kehutanan di
Universitas Palangka Raya. Sedangkan pembinaan pada perguruan tinggi swasta,
antara lain berperan aktif dalam mendirikan Akademi Ilmu Kehutanan Propinsi
Jawa Barat, yang sekarang berkembang menjadi Fakultas Kehutanan Universitas
Winaya Mukti. Selain itu IPB turut berpartisipasi aktif dalam pembentukan
Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Pante Kulu di Aceh, Fakultas Kehutanan Universitas
Nusa Bangsa di Bogor dan Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas
Simalungun Sumatera Utara. Peran IPB lainnya memberikan sumbangan pemikiran
dalam penentuan kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia. Beberapa program
penting yang mengisi sejarah pengelolaan hutan di Indonesia yang pemikirannya
oleh Kehutanan IPB antara lain Program Agroforestry, Sistem Silvikultur Tebang
Pilih Indonesia (TPI), Biofertilizer (Micorhiza), Konsep Hutan Kota, Biorefor
(Biotechnology Assisted Reforestation), Konservasi Tumbuhan Obat dan Sistem
Pengendalian Kebakaran Hutan.
Sejak berdiri tahun 1963 sampai
sekarang telah banyak melaksanakan kegiatan-kegiatan kerjasama dengan instansi
lain, baik dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Kerjasama dengan instansi pemerintah di dalam negeri antara lain
dengan Departemen Kehutanan, Departemen Transmigrasi, Menteri Negara Lingkungan
Hidup, Bappenas. Demikian pula dengan instansi swasta, seperti
perusahaan-perusahaan HPH, perusahaan-perusahaan HTI dan perusahaan-perusahaan
Konsultan, telah banyak terlaksana kegiatan kerjasama dalam ketiga bidang
tersebut. Adapun kerjasama dengan instansi di luar negeri mencakup kerjasama
dengan institusi pendidikan (universitas), riset, dan swasta. Kerjasama dengan
universitas di luar negeri umumnya berbentuk program pertukaran staf pengajar
serta program yang berkaitan dengan kerjasama teknik, pendidikan dan
penelitian. Sedangkan kerjasama dengan institusi riset, seperti FAO, ITTO,
CIFOR, ICRAF, IUFRO, GTz, WWF, umumnya berkaitan dengan program kerjasama
penelitian.
Peran Pendidikan
Kehutanan Menghadapi ASEAN 2015
Ada apa dengan ASEAN 2015? Pada
tahun 2015 akan menghadapi Asean Single Communnity. Terus titik beratnya pada
sektor apa? Sudah pasti berkaitan dengan kompetisi ekonomi. Apakah Indonesia
akan mampu bersaing? Kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi Asean
Economic Communnity (AEC) masih sangat kurang. Jika kondisinya masih seperti
ini maka Indonesia akan menjadi tamu di dalam rumah sendiri. Melihat negara tetangga
sesama ASEAN yaitu Singapore, Thailand dan Malaysia sudah sangat siap dalam
menyambut AEC 2015. Berbagai event dan sosialisasi sudah dicanangkan oleh
negara tersebut. Melalui pendidikan yaitu meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia (SDM) di negaranya. SDM akan menjadi aset dan agen perubahan dalam
menghadapi AEC 2015. Asean Single Communnity juga menyangkut pasar tenaga kerja
yang sehat dan transparan.
Bagaimana dengan peranan
pendidikan kehutanan? Dalam hal apa bisa berkompetisi pada Asean Single Communnity?
Pertanyaan ini barangkali mengingatkan kita di era tahun 1960 sampai 1990,
bahwa sektor kehutanan menjadi sumber devisa utama sebelum migas dan
pertambangan berjaya. Bahkan apabila dilihat lebih jauh produksi dalam negeri
belum banyak diterima oleh masyarakat internasional. Hal ini bisa dilihat
dengan neraca perdagangan kita, bahwa import lebih besar dari produk yang kita
ekspor. Semakin diperjelas lagi, baru-baru ini CPO dan Karet ditolak dalam KTT
APEC masuk list komoditas ramah lingkungan. Padahal perkebunan sawit sudah
sangat menasional, hampir seluruh pulau Sumatra dan Kalimantan sudah
disawitkan. Sektor batubara belum banyak memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat Indonesia. Batubara baru tahap eksploitasi dengan harga produk yang
sangat murah dan pasarnya dimonopoli oleh China. Sementara untuk sektor
kehutanan dengan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) untuk menjamin
legalitas kayu dan produk kayu Indonesia sudah disetujui oleh Uni Eropa. Dengan
kepastian mutu dan legalitas kayu ini bisa meningkatkan ekspor kayu atau produk
kayu Indonesia ke Eropa. Dengan peningkatan daya saing akibat perjanjian
perdagangan kayu dan produk kayu, bisa mempertahankan total ekspor Indonesia ke
Eropa. Jika di pasar Uni Eropa bisa diterima, tentunya dalam menatap Asean
Single Communnity sektor kehutanan penuh dengan rasa optimisme.
Kembali ke peranan pendidikan
kehutanan, tentunya berperan dalam meningkatkan kualitas Rimbawan di Indonesia.
Para rimbawan akan menjadi aset dan agen perubahan dalam menghadapi Asean
Single Communnity. Sebagai bahan pertimbangan Pendidikan Kehutanan bisa
mengkaji perspektif mahasiswa kehutanan global. Dalam setiap diskusi pendidikan
kehutanan sangat penting untuk mempertimbangkan pandangan mahasiswa. Ada
organisasi global untuk mahasiswa kehutanan yaitu Perhimpunan Mahasiswa
Kehutanan Internasional (International Forestry Students Association). Sebuah
dokumen yang disiapkan untuk Kongres Kehutanan Dunia tahun 2009, rencana aksi
global untuk pendidikan kehutanan menurut IFSA (2009) mengakui empat isu pokok
utama, yaitu kurangnya pengakuan masyarakat akan pentingnya hutan dan
manajemen, kurangnya lembaga pendidikan kehutanan dan lingkungan, kurangnya
dukungan finansial untuk menerapkan pendidikan yang efisien bagi lembaga yang
sudah ada, dan kebutuhan adaptasi kurikulum dan metode untuk persyaratan
pekerjaan. Selanjutnya harus mengenali sejumlah masalah lainnya, berkaitan
menurunnya minat kehutanan, investasi tidak memadai di sektor kehutanan,
integrasi yang miskin tema seperti keanekaragaman hayati, agroforestri,
perubahan iklim dan lingkungan ke dalam kurikulum kehutanan yang masih
tradisional. Sementara rencana aksi mahasiswa adalah pekerjaan yang sedang
berjalan tidak mengandung kesimpulan yang penting, bahwa pendidikan kehutanan akan
berhasil jika terintegrasi dengan pengorganisasian yang terbuka dan sektor
kehutanan menjadi menarik untuk dikerjakan. Semua perspektif tersebut harus
bisa terjawab dan menjadi tantangan bagi pendidikan kehutanan dalam memasuki
Asean Single Communnity.
Daftar Pustaka
Burley, J, Plenderleith, K., Howe, R dan Smith, P. (2004),
Forest education and research in the United Kingdom, Proceedings of the
International Symposium on Forest Research and Education for the 21st Century,
12 October 2004, Korea.
IFSA (2009), Global action plan for forestry education,
Discussion Paper, Version 2.2, 2 October 2009, International Forestry Students
Association, Freiburg, Germany.
Innes, J.L. dan David Ward. (2010), Professional Education
in Forestry. Canada
Luckert, M.K. (2006), Has the myth of the omnipotent
forester become the reality of the impotent forester? Journal of Forestry, Vol.
104 (6)
Miller, H. (2004), Trends in forestry education in Great
Britain and Germany, 1992 to 2001, Unasylva, No. 216 Vol. 55, pp. 29-32
Temu, A.B., Mwanje, I. Dan Mogotsi, K. (2003), Improving
agriculture and natural resources education in Africa: a stitch in time, World
Agroforestry ICRAF, Nairobi, Kenya.
Weston, C. dan Whittaker, K. (2009), Forestry is a handy
word but not the right one for attracting students, Proceedings of the 24th
Biennial Conference of the Institute of Foresters of Australia, Caloundra.
Langganan:
Postingan (Atom)