Cari Blog Ini

Kamis, 12 Maret 2015

MENIKMATI INDAHNYA TOL LAUT BALI

MENIKMATI INDAHNYA TOL LAUT BALI







Masyarakat Bali sudah menikmati Jalan Tol Laut Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa. Jalan tol sepanjang  12,7 km ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono di Gerbang Tol Nusa Dua, Bali pada hari Senin tanggal 23-9-2013. Ketika JKW baru berpikir "Tol Laut" saya malah sudah 2 tahun lebih menikmati pemandangan "Tol Laut"


RINGKASAN

Sebagai sebuah istilah, bahwa penulis menilai istilah “Tol Laut” agak kurang tepat, apalagi bila dikaitkan dengan jalan tol yang pada saat ini mendapatkan citra tidak terlalu baik di dalam masyarakat. “Sudah bayar, jalannya jelek dan macet pula” tentu tidak mau diasosiasikan dengan “Tol Laut” yang akan dikerjakan. Istilah “tol” yang diambil dari bahasa Inggris “toll” yang berarti charge/fee/levy/tariff dan segala jenis pembayaran lainnya hanya mengartikan untuk menggunakan fasilitas ini anda harus membayar. Tentu saja kita semua mahfum, yang dimaksud dan ditekankan oleh JKW bukanlah masalah pembayaran oleh pengguna, tetapi suatu “jalan” atau koridor laut yang “bebas hambatan”, yang bisa membuat angkutan antar pulau menjadi jauh lebih murah dan bisa diakses dengan mudah. Istilah “Jembatan Laut Bebas Hambatan” mungkin lebih cocok digunakan dibandingkan dengan “Tol laut” yang sudah terlanjur memasyarakat (Andhika, 2014)


“Tol Laut” Bagaimana Cara Mengimplementasikannya?
Oleh : Bobby Andhika


Pada saat tulisan ini dibuat, JKW dan JK – Presiden dan Wakil Presiden baru saja dilantik dan masyarakat dengan penuh harap menunggu dengan antusias pengumuman siapa yang akan membantu mereka di dalam kabinet, para elite profesional dan kader terbaik partai pendukung, yang akan memastikan semua program-program yang dijanjikan akan terimplementasi dengan baik.

JKW dengan yakin mengatakan “Tol Laut” adalah jawabannya.
Mari kita telaah, apakah “Tol Laut” yang dimaksud oleh JKW itu? Seberapa realistis program ini? Dan bagaimana mengimplementasikannya?

Dalam kampanye sebelumnya, “Tol Laut” sebagai bagian dari program andalan JKW untuk mengembalikan kejayaan Indonesia di bidang maritim sering disebut sebagai sebuah solusi dari masalah yang tidak hanya datang dari kegusaran seorang JKW, tetapi juga kegelisahan hampir semua pelaku bisnis yang memerlukan jasa maritim dalam menjalankan usahanya.

Apabila disederhanakan, ada 2 pokok masalah yang ingin dijawab oleh JKW dengan memperkenalkan program atau istilah “Tol Laut” yaitu harga angkut antar pulau di Indonesia yang tinggi (bahkan pada beberapa kasus lebih tinggi dibanding dengan mengirimkan barang ke luar negeri) dan reliability atau keandalan/ketersediaan yang masih sangat terbatas. Sebuah ironi apabila para eksportir di pulau Jawa dapat setiap hari mengirimkan barangnya ke Singapura, sementara harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk mengirimkan sesuatu ke Papua.

Sebagai sebuah istilah, penulis menilai istilah “Tol Laut” agak kurang tepat, apalagi bila dikaitkan dengan jalan tol yang pada saat ini mendapatkan citra tidak terlalu baik di dalam masyarakat. “Sudah bayar, jalannya jelek dan macet pula” tentu tidak mau diasosiasikan dengan “Tol Laut” yang akan dikerjakan. Istilah “tol” yang diambil dari bahasa Inggris “toll” yang berarti charge/fee/levy/tariff dan segala jenis pembayaran lainnya hanya mengartikan untuk menggunakan fasilitas ini anda harus membayar.

Tentu saja kita semua mahfum, yang dimaksud dan ditekankan oleh JKW bukanlah masalah pembayaran oleh pengguna, tetapi suatu “jalan” atau koridor laut yang “bebas hambatan”, yang bisa membuat angkutan antar pulau menjadi jauh lebih murah dan bisa diakses dengan mudah. Istilah “Jembatan Laut Bebas Hambatan” mungkin lebih cocok digunakan dibandingkan dengan “Tol laut” yang sudah terlanjur memasyarakat.

Apabila diasosiasikan dengan infrastruktur jalan darat, sayangnya ada perbedaan mendasar yang membuat infrastruktur angkutan laut menjadi jauh lebih sulit dan kompleks untuk dikerjakan.

Apabila kita membangun infrastruktur jalan darat, tergantung dengan lebar, kekuatan dan struktur geometris jalan, pada prinsipnya setelah jalan itu selesai, jalan itu bisa digunakan oleh segala jenis kendaraan baik motor, mobil maupun truk besar.

Transportasi laut dengan 2 infrastruktur dasar : pelabuhan dan kapal, tidak bisa disederhanakan sebagaimana moda transportasi darat.

Membangun pelabuhan, terutama pelabuhan modern dengan segala fasilitas pendukungnya, harus disesuaikan dengan peruntukan atau penggunaan dari pelabuhan tersebut. Pelabuhan untuk mengangkut manusia jauh berbeda dengan pelabuhan untuk mengangkut batu bara. Pelabuhan untuk mengangkut batu bara memiliki spesifikasi teknis yang sangat berbeda dengan pelabuhan untuk mengangkut kontainer. Fasilitas pendukung yang ada di pelabuhan kontainer hampir dipastikan tidak bisa digunakan untuk operasional kapal tanker untuk mengangkut barang-barang cair.

Begitu pula dengan kapal. Batu bara, bijih besi, nickel dan sejenisnya harus diangkut dengan menggunakan kapal curah kering yang tidak mungkin digunakan untuk mengangkut bahan bakar minyak. Kapal tanker yang dimiliki oleh Pertamina, tidak bisa dan tidak boleh digunakan untuk mengangkut kontainer. Kapal penumpang milik Pelni, secara teknis tidak memiliki fasilitas pendukung untuk mengangkut ternak dari Nusa Tenggara ke Jakarta.

Apakah ada pelabuhan dan kapal multi-purpose/multi-guna yang bisa digunakan untuk mengangkut semua jenis barang sehingga pembangunan “Tol Laut” atau “Jembatan Laut Bebas Hambatan” bisa dibangun untuk menghubungi pulau-pulau di Nusantara? Jawabannya : “ada”, tetapi pelabuhan dan kapal tersebut hanya terdapat di abad pertengahan, seperti yang digunakan oleh Christopher Columbus keliling dunia dan Cornelis de Houtman mendarat di pelabuhan Banten pada tahun 1596. Dimana pada masa itu, manusia, ternak dan barang diangkut di dalam kapal yang sama.

Tentu saja lelucon di atas, hanya bisa membuat kita tertawa getir, tetapi tidak bisa menjawab keinginan JKW untuk mengurangi harga angkutan laut antar pulau dan menyediakan moda angkutan laut yang handal.

Apa yang harus dilakukan oleh JKW-JK dan para pembantunya untuk mengimplementasikan “Jembatan Laut Bebas Hambatan” sebagai salah satu program andalannya?

Pemetaan adalah satu-satunya langkah pertama yang harus dilakukan. Pengambil kebijakan harus mengetahui dengan jelas trading pattern atau alur perdagangan atau alur transportasi laut yang pada saat ini terjadi dan apa yang akan diharapkan terjadi pada jangka pendek, menengah dan panjang ke depan.

Peta ini harus memuat data yang lengkap, meliputi (tetapi tidak terbatas pada) jenis barang, volume, frekuensi berikut dengan infrastruktur yang selama ini ada baik pelabuhan maupun kapal yang digunakan.

Dengan peta yang ada mulailah JKW-JK dengan semua tim terkait membuat rencana kerja pengembangan “Jembatan Laut Bebas Hambatan” yang tepat guna.

Membangun pelabuhan besar akan menjadi investasi boros yang sia-sia apabila jenis dan volume barang yang dimuat dan dibongkar di pelabuhan tersebut tidak sesuai.

Mengoperasikan kapal besar semacam ultra large container carrier akan membuat para ahli bisnis perkapalan bertanya-tanya kemana kapal itu akan disandarkan dan muatan apa yang tiba-tiba harus diangkut dalam jumlah 18,000 kontainer sekali angkut?

Implementasi terbaik dari “Jembatan Laut Bebas Hambatan” adalah membangun pelabuhan yang tepat dan mengoperasikan kapal yang sesuai dengan pola perdangan yang ada.

Sambil menunggu pembangunan dan perbaikan infrastruktur selesai, secara simultan pemerintah harus juga membenahi hal-hal yang menyebabkan tingginya biaya investasi dan biaya operasional dalam bidang angkutan laut.

Sampai saat ini, dalam pendanaan investasi pelaku usaha di Indonesia masih dibebani biaya bunga 2 kali lebih tinggi dari negara-negara tetangga. Harga Marine Fuel Oil (MFO) dan Marine Diesel Oil (MDO) yang dijual oleh Pertamina masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk sejenis yang dijual di Singapura.